(Sumber: Pikiran Rakyat, 2006)
Dalam tataran wacana, ada perbedaan antara tahun baru Islam tahun lalu dengan masa sekarang. Sejumlah narasumber "PR" di kalangan umat Islam menyebutkan, detik-detik peringatan tahun baru Islam saat ini diwarnai dengan perbincangan tentang hasil intelijen asing yang menyimpulkan asumsi terjadinya kebangkitan Islam secara total pada tahun 2020. Ya, itu berarti tinggal 14 tahun lagi.
Semangat mengkaji agama di masa kebangkitan Islam tumbuh di mana-mana, salah satunya pengajian mingguan yang diselenggarakan Ustadz Aam Amiruddin, di Masjid Al Murosallah Divlat Telkom Gegerkalong Bandung, Minggu (29/1).
Sementara itu, selama sepekan ini "PR" mencatat adanya "dialog hangat" seputar bagaimanakah upaya mengondisikan umat Islam agar selalu siap menyambut tibanya abad ke-15 Hijriah sebagai momentum sesungguhnya kebangkitan kaum Muslimin.
Selain itu, yang juga tak kalah menariknya adalah wacana perihal apakah benar abad ke 15 Hijriah merupakan saat awal kebangkitan Islam? Jika bukan, maka kapankah waktu atau tahun berapakah terjadinya kebangkitan umat Islam di dunia?
Tak hanya itu, berdasarkan penelusuran tim "PR" di sejumlah basis kaum tarekat, ternyata ditemui wacana tentang akan turunnya Imam Mahdi yang akan "membebaskan" dunia dari kejahiliahan. Konon Imam Mahdi—yang kini masih "disembunyikan" Allah SWT—akan memimpin umat manusia di dunia.
Untuk itulah, sejumlah penganut tarekat kini berusaha mempersiapkan "fasilitas" sebelum diturunkan-Nya Imam Mahdi tersebut. Mereka membangun berbagai sarana seperti di bidang perekonomian dan pendidikan untuk memuluskan aktivitas Imam Mahdi kelak.
Dalam konteks umat Islam pada umumnya, "persiapan" di bidang ekonomi dan pendidikan yang dilakukan kaum tarekat, ternyata disambut hangat dan menjadi fenomena tersendiri bernuansa kebangkitan kaum Muslimin. Pasalnya, ada tarekat yang bekerja keras membangun perekonomian dan pendidikan, mempersiapkan sistem hidup islami–termasuk membangun keluarga islami plus membudayakan poligami–serta mengoptimalkan nilai manfaat bagi umat Islam disekitarnya.
Sebut saja umpamanya, penganut tarekat pimpinan Ustadz Haji Abuya Syeikh Imam Ashaari Muhammad At Tamimi yang yang menggiatkan perekonomian dan pendidikannya. Dengan bernaung di bawah nama Rufaqa' Corporation Sdn. Bhd., jemaah tarekat yang dulu bernama Darul Arqam (DA) ini menghidupkan perniagaan di berbagai negara di Asia khususnya seperti di Malaysia, Indonesia, dan Thailand.
Selain mereka, ada juga penganut tarekat yang "mempersiapkan" berbagai sarana untuk memuluskan era kejayaan Islam dan umatnya. Misalnya, jemaah tarekat Syadziliyah yang dipimpin Syekh Abdul Qadir As Sufi (di Indonesia dipimpin oleh Amir Achmad Iwan Ibrahim Adjie).
Jemaah tarekat yang tumbuh subur di Eropa ini, memiliki banyak bisnis dan menyosialisasikan penggunaan mata uang Islam dinar serta dirham. Dengan sekuat tenaga, mereka mendakwahkan perlunya menghidupkan kembali amalan Madinah. Sejumlah pengikutnya terus bekerja keras demi kejayaan Islam dan umatnya (izzul Islam wal Muslimin).
Di Tanjung Anom Nganjuk Jawa Timur, Bandung, dan Jakarta, ada juga Gerakan Jemaah Tarekat Lil Muqorrobien—pimpinan K.H. Muhammad Munawar Afandi—yang mempersiapkan situasi kondusif menyambut kebangkitan Islam dengan tampilnya Imam Mahdi selaku imam di dunia kelak.
Prediksi tibanya momentum kebangkitan Islam ini, juga dilakukan oleh sejumlah agen intelijen di berbagai negara di dunia. Mereka menduga kuat akan tibanya kehidupan religius yang berdasarkan syariat Islam secara total pada tahun 2020.
Hal tersebut dapat diketahui dari hasil analisis intelijen di 15 negara yang tergabung dalam National Intelligence Council (NIC) yang bermarkas di Kantor Central Intelligence Agency (CIA) di Langley Virginia Amerika Serikat (AS).
Dalam laporannya berjudul "Mapping the Global Future", Direktur NIC, Robert Hutchings mengungkapkan tentang masa depan dunia. Disebutkannya, pada tahun 2020 akan bangkit kembali Kekhalifahan Islam (Islamic Caliphate) baru yakni sebuah pemerintahan Islam yang mampu memberi tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai Barat (Harian USA Today, edisi 13 Februari 2005/HU Kompas, 16/2/2005).
Ketika hasil analisis intelijen tersebut tersebar, ungkap narasumber "PR", sejumlah pimpinan ormas Islam dan aktivis dakwah merasa tidak terkejut. Alasannya, tanda-tanda bagi kebangkitan kembali kaum Muslimin sudah "terasa" sejak lama. Sejumlah pimpinan ormas Islam menyebutkan "roh kebangkitan" dengan kalimat "semakin ditekan dan dizalimi, maka semakin bersatulah kaum Muslimin untuk bangkit."
Sementara itu, bagi para pakar sejarah Islam, kebangkitan kaum Muslimin di masa sekarang sesungguhnya merupakan rangkaian dari masa silam. Sejarawan Muslim, H. Ahmad Mansur Suryanegara, umpamanya, menyebutkan, perihal adanya kaitan antara pengusaha kerajinan dan kain Indonesia di masa silam dengan para pedagang di tanah suci, dan negeri-negeri Islam lainnya.
Dalam konteks ini, realita sejarah menunjukkan Indonesia ternyata pernah "bersentuhan" dengan tatanan pemerintahan berdasarkan syariat Islam yakni Khilafah Islamiyah di Turki Utsmani. Saat itu, nuansa kejayaan Islam tampak di kawasan tersebut.
Interaksi antara Indonesia dengan negeri-negeri Islam dan Khilafah Islamiyah itu, setidaknya terwakili dengan fakta adanya jalinan yang erat antara negeri-negeri kesultanan di nusantara, antara lain Sultan Iskandar Muda (di Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam/NAD), Kesultanan Sumatra Barat, Buton (Sulawesi Selatan), Ternate, dan Tidore (Maluku Utara), serta beberapa kesultanan di Pulau Jawa maupun peran dan kiprah dakwah yang dilakukan Walisongo di berbagai daerah di Indonesia.
Nikmatnya hidup dalam atmosfer kejayaan Islam tersebut, sempat dirasakan kaum Muslimin di nusantara dan negeri-negeri lainnya sebelum terjadinya peristiwa peruntuhan Khilafah Islamiyah oleh Mustafa Kamal pada 3 Maret 1924. Upaya untuk merasakan nikmatnya hidup dalam sebuah tatanan global syariat Islam (Khilafah Islamiyah) yang sempat melembaga selama 1.300 tahun itu, sempat dilakukan melalui penyatuan wacana, visi, dan pijakan alternatif seperti melalui konferensi, pertemuan, atau musyawarah, antara lain:
Kongres Kekhalifahan Islam di Kairo (1926), Kongres Muslim Dunia di Mekah (1926), Konferensi Islam al-Aqsho di al-Quds (Desember 1931), Konferensi Islam Internasional II di Karachi Pakistan (1949), Konferensi Islam Internasional III di Karachi Pakistan (1951), Pertemuan Puncak Islam di Mekah (Agustus 1954), Konferensi Muslim Dunia di Mogodasihu (1964), Pertemuan di Malaysia (1968) yang melahirkan Persemakmuran Muslim dengan tujuan memajukan solidaritas dan kerja sama yang pada akhirnya memunculkan gagasan Konfrensi Menteri-menteri Luar Negeri Muslim di Kuala Lumpur Malaysia (1969).
Adanya informasi sejarah tentang masa kejayaan umat Islam dalam atmosfer Khilafah Islamiyah di Turki Utsmani, menurut sejumlah aktivis dakwah kampus di Kota Bandung, menimbulkan stimulus untuk berharap hal yang sama di masa kini.
"Saya dan rekan-rekan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) khususnya maupun umat Islam umumnya, tentu mengharapkan kembalinya masa kejayaan Islam dan umatnya. Sebab, hanya kembali ke syariat Islamlah terdapat solusi atas segala problem di dunia ini," kata ustadz Farid Fajdi
Menurut pengelola majalah terbitan HTI Al-Wa'ie ini, kaum Muslimin sudah saatnya meningkatkan pengetahuannya tentang syariat Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itulah, setiap diri dan keluarga Muslim berkewajiban mempelajari agama Islam secara serius, dan mengubah perilakunya yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
"Jika kesadaran beragama di kalangan kaum Muslimin sudah meningkat dan syariat Islam benar-benar ditegakkan dalam pribadi, keluarga, serta masyarakat, dan negeri-negeri Muslim, tentu kejayaan Islam dan umatnya dapat kita songsong dengan baik. Ya, dengan ikhtiar itu mudah-mudahan kita dapat menghidupkan kembali Khilafah Islamiyah," ujar Farid Wajdi.
Dalam konteks ini, tentu menarik pula bila kita merenungi pernyataan pimpinan Rufaqa', Ustadz Haji Abuya Imam Ashaari Muhammad At Tamimi, "Insya Allah kebangkitan umat Islam itu terjadi, dan kini sedang berlangsung di Timur. Untuk itulah, semua orang harus menghadirkan Tuhan, Allah, di mana-mana. Orang yang tidak merujukkan seluruh aspek kehidupannya kepada Allah, secara tidak sadar mereka menganggap urusan-urusannya bukan urusan Allah. Seolah-olah Allah tidak mengetahui apa-apa tentang ekonomi, politik, teknologi, perdagangan, keuangan, dan lain-lain. Akibat melupakan Allah dan aturan-aturan Allah untuk mengatur seluruh aspek dalam hidup mereka, maka Allah biarkan mereka dalam krisis dan keterpurukan." (Sarnapi/Achmad Setiyaji/"PR")***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar