Selasa, 22 November 2011

Kebangkitan Islam Abad Ke-21?

                 Jumat, 25 Agustus 2006         Agresi militer Israel ke Palestina dan Libanon memang tak bisa dicegah.  Kecaman masyarakat internasional tak digubris Tel Aviv. Zionis Israel seakan  nampak begitu pongah dengan kehebatan kekuatan bersenjatanya. Negeri  berpenduduk 6.2 juta jiwa ini memang paling terkuat secara militer di kawasan  Timur Tengah.         Selain dikucuri dana sebesar 3 miliar dolar AS per tahun oleh AS, Israel  memiliki transaksi pembelian senjata sebesar 6,3 miliar dolar AS dengan  Pentagon. Sebanyak 20 persen defence budget Tel Aviv untuk tahun 2006,  misalnya, ditalangi Washington. Kecanggihan peralatan militer seperti jet  tempur F-16, F-14 dan F-18 serta rudal Tomahawk yang dimiliki Israel ke  semuanya dipasok AS. Bahkan, militer negeri Zionis ini paling terandal di  seluruh kawasan Timur Tengah. Itu belum termasuk 200-300 hulu ledak nuklir yang  disimpan Israel sejak lama. Apalagi, pemerintah Israel -selain India dan  Pakistan- tidak pernah menandatangani Pakta Non-Proliferasi Nuklir 1960 (NPT)  sehingga ia bebas membeli atau mengembangkan senjata pemusnah massal itu.        Sikap Tegas        Dalam hemat penulis, perilaku ekspansionis Israel di kawasan Timur Tengah  masih bisa ditahan dengan setidaknya tiga kekuatan. Pertama, PBB. Jika DK PBB  masih berniat menjaga perdamaian dunia, maka pengiriman pasukan ke Timur Tengah  untuk mengusir tentara Israel dari Palestina maupun Libanon merupakan  keharusan. Ini terlepas dari sikap pesimisme dan kebosanan yang melanda  masyarakat internasional bahwa PBB, lembaga yang didirikan di tahun 1945,  selama ini kerap terbukti hanya mampu mengecam atau mengeluarkan resolusi tanpa  implementasi. Karena itu, diperlukan keberanian negara besar seperti Prancis,  Rusia dan Cina untuk menggertak Amerika Serikat yang selalu memveto setiap  keputusan DK PBB yang dianggap merugikan Israel.        Kedua, Nasionalisme Arab. Sejarah membuktikan bahwa Bangsa Arab pernah  mampu menggalang persatuan untuk menggelar mesin perang dengan Israel. Perang  Arab-Israel di tahun 1948, 1956, 1973, dan 1982 adalah bukti kongkrit kemampuan  negara-negara Arab melawan negeri Zionis itu (Bernard Lewis, The Crisis of  Islam: Holy War and Unholy Terror, Great Britain: The Orion, 2003).         Jika PBB tidak lagi memainkan peran, maka saatnya Bangsa Arab kembali  meneriakkan slogan ''Nasionalisme Arab'' yang dulu digagas almarhum Presiden  Mesir Gamal Abdul Nasser. Yang sampai sekarang dipermasalahkan adalah minimnya  sentimen nasionalisme di kalangan negara-negara Arab. Andai para pemimpin di  Arab Saudi, Mesir, Yordania, Iran, Suriah, Sudan, Yaman, Uni Emirat Arab,  Qatar, Maroko, dan Libya belum melupakan konsep Pan-Arabisme versi Nasser, bisa  dipastikan Israel terhapus dari peta Timur Tengah.        Ketiga, keberanian OKI. Israel juga bisa mudah dihancurkan bilamana  negara-negara Muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) mau  menjajal keberanian mereka. Selama ini, OKI hampir tidak jauh beda dengan PBB:  Sebatas mengecam dan mengutuk setiap tindak kekerasan militer yang dilakukan  tentara Israel. Afghanistan dihujani bom (2001), Irak dirudal (2003), tapi OKI  diam seribu bahasa. Agresi Israel ini merupakan momen yang tepat untuk  menunjukkan taring OKI yang sebenarnya. Sungguh memalukan jika jumlah umat  Islam yang mencapai 1,3 miliar jiwa benar-benar ''banci'' hanya untuk  menghadapi 16 juta orang Yahudi di muka bumi ini. Apabila OKI ternyata tetap  ''impoten'' dalam mencegah perilaku brutal Zionis Israel, maka tak diragukan  lagi OKI termasuk PBB sudah harus cepat-cepat dikafani untuk dikuburkan secara  massal.        Kebangkitan Islam?       Apabila keberanian OKI dianggap sebagai benturan peradaban, mungkin sudah  saatnya. Pun tak perlu dicemaskan analisa Samuel P Huntington dalam bukunya  ''Clash of Civilizations and the Remaking of New World Order: 1995''.         Salah satu mufassir Islam kenamaan, Ibnu Katsir, bahkan ratusan tahun  sebelum Huntingnton dilahirkan telah memprediksikan bakal terjadinya  ''at-Tashoodum al-Hadhlori'' (benturan peradaban). Abad ke-21 sangat boleh jadi  merupakan abad kebangkitan Islam di jagat raya ini. Jika sejarah masih dianggap  relevan untuk ditelisik ulang, maka Islam muncul di abad ke-6 Masehi. Dari  zaman Rasulullah SAW sampai Dinasti Abbasiyah (1258), Islam menjadi ''The  Greatest World's Civilization'' (peradaban terbesar di muka bumi).        Di awal abad ke-13, kejayaan peradaban Islam benar-benar sirna. Jika  hitungan matematika berskala grafik digunakan, sebenarnya Islam muncul dan  sukses selama tujuh abad, kemudian mundur selama tujuh abad pula. Artinya, abad  ke-21 (tujuh ratus tahun pasca kemunduran) harus menjadi abad kebangkitan umat  Islam. Angka tujuh memang menyimpan misteri. Dalam sepekan, jumlah hari adalah  tujuh. Surat al-Fatihah (yang masyhur disebut Ummul Quran) berjumlah tujuh  ayat. Langit dan Bumi diciptakan Allah SWT dalam tujuh hari tujuh malam.  Lapisan langit pun berjumlah tujuh. Karena itu, setelah sukses selama 7 abad  dan redup selama tujuh abad, maka di abad ke-21 (atau tujuh abad kemudian)  inilah Islam tak syak lagi harus berjaya.         Lalu, benarkah invasi Israel tahun 2006 ini menjadi salah satu tanda  bangkitnya umat dan peradaban Islam? Semoga. Wallahu a'lam bisshowab.***        Abdul Halim Mahally,  Kelahiran Selatpanjang, Kabupaten Bengkalis, Riau.  Kandidat doktor pada University Harvard, USA.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar